Senin, 18 Februari 2013

Si Batu Kecil yang Penuh Makna



                Hujan rintik membasahi bumi Benda, sepulang sekolah tepatnya hari Selasa pukul 17:00 sebelum balik ke kandang (heist ko kandang,.,?!? kan ak tinggal di Perikanan, jd, kandang ikan gitoh) aku mampir dulu di kantor tersayang, Kantor redaksi M2net, guna memberesi beberapa masalah. Setelah masalah sudah kelar langsung saja dech pulang ke kandang Ikan.,
                Seperti biasa kami (Azam, bang Ud, dan ak sendiri : Saefaz Aziz) sepulang sekolah atau sebelum mengikuti kegiatan Pondok , kami masak dulu, (heits., jangan salah meskipun kami  Three Mas Ketir tpi kami jago masak lohh,., nda percaya,.? Silahkan cobain masakan kami.,) pada kali ini lumayan berebeda dengan hari-hari sebelumnya, kalau hari-hari sebelumnaya kami masak nasi + lauk, kali ini kami Cuma masak nasi tok, karena si Bang Ud dapet kiriman “Petis n Daging Goreng” (hmm,, paling nikmat nich hujan-hujan makan nasi anget + petis khas masakan Abah Latif).
                Setelah nasi sudah matang dan lauk sudah di hangatkan kami pun langsung menyerbunya,., tapi pada kali ini kami makan bersama dengan bang Bos kita, Mas Negus. Tentu donk kami tak makan satu orang satu piring tetapi dijadiin satu wadah, nampan, (wiihhh,., romantisnya,.). Oh’y ada yg ketinggalan juga, kami makan tak hanya ber empat tapi kita kedatengan satu orang lagi, Bos Molring (makanan khas Tasikmalaya), Mas Mustolah.
                Ronde pertama sudah selesai, berarti ronde kedua pun di mulai, tambah nasinya donk n lauknya. Di ronde kedua ini tak hanya Petis yang menemani  sang nasi kita kedatangan lauk istimewa lagi daging goreng yang tentunya masakan asli dari Abah Latif. Mas Mustolah pun menyerah dironde kali ini, tinggal kami berempat yang masih kuat menghajar sang nasi.
             
  Setelah detik-detik nasi hampir habis, tiba-tiba sang Bang Bos kita, Mas Negus, mengkletak (bahasa jawa) batu yang lumayan kecil. Setelah tak sengaja mengkletaknya bang Bos terdiam sejenak dan berubah raut wajahnya, terlihat raut-raut muka sedang mikir, Hmm,., kami pun memandangi bang Bos. “HAA,., batu ini mengingatkan Ak.,!!!” kata bang Bos sambil melihat ke arah kita, Three Mas Ketir. Sepontan kami pun bertanya, “memang ada apa dengan batu kecil itu mas,.??”. Bang Bos pun berubah menjadi Seorang Ustadz yang cukup ganteng (waduhh,., kayak di filem-filem kartun adjah). “ coba kalian pikir tentang batu kecil ini, kebanyakan orang ketika tak sengaja  mengletak batu sekecil ini, pasti mereka akan berkata bahwa batu yang tak sengaja masuk kemulut itu berukuran sangat besar, padahal coba kita lihat, batu ini sangatlah kecil bahkan mungkin dengan sebutir nasi pun lebih kecil.,” dauh sang Ustadz ganteng ini, Mas Negus. “hmm,,., ea mas bener banget tuch” Three Mas Ketir pun kompak menjawabnya.
                Sang Ustadz dadakan pun kembali dauh “ dibalik semua itu tersirat sebuah makna tersendiri di batu tersebut. Batu tersebut ibarat kalian semua ini, ketika  ulama-ulama besar di cabut oleh Allah SWT di dunia hanya tinggal orang-orang yang cukup pintar saja dia tak cerdas, tetapi kebanyakan orang akan menyebutnya bahwa dia seorang yang sangat pintar bahkan orang yang cerdas, itulah hal yang tersirat dibatu kecil ini (sambil memegang batu kecil tersebut)”.
                Hmm,., jadi itu yang tersirat dibatu keci itu menurut pandangan Ustadz Negus, tetapi sedikit berbeda dengan pandang dari diri ini, Saefaz Aziz. Menurut ku batu kecil itu ibarat kita (santri) yang tinggal di Pondok, yang kelihatan biasa-biasa saja ilmunya, tetapi jika sudah keluar pondok ilmu-ilmu kita seakan sangat dibutuh kan oleh masyarakat. Karena disaat kita hidup di Pondok ilmu-ilmu kita tertutup oleh sang guru-guru kita. Itu pandangan ku yang hampir mirip disampaikan oleh Ustadz Negus. Pandangan kedua ku adalah batu tersebut ibarat para pengabdi Pondok, kalau Alhikmah menyebutnya “Abdi dalem”.  Mereka jarang sekali ikut pengajian, kerjaannya hanya melayani apa saja yang di butuhkan oleh sang Kiyai, dari membantu di dapur hingga ke sawah. Merekan kelihatan biasa-biasa saja, bahkan pakaian mereka  pun kumal. Tetapi setelah sepulang mereka dari Pondok mereka berhasil, mereka menjadi ulama besar di lingkungannya, dan itu sudah terbukti dari banyak Abdi dalem. Subahanallah.,., Mungkin ini yang disebut dengan Barokah, kalau kalian sering dengar, bahwasanya santri hidup di Pondok bukanlah mencari yang terbaik/terpintar melainkan mencari barokah dari sang Kiyai nya. Karena ilmu tanpa barokah atau ridlo dari sang guru adalah sia-sia alias tak bermanfaat

1 komentar: